bagi mahasiswa yang ingin mendaftar secara online sebagai presma dan wapresma STAIN Pontianak periode 2012-2013 silahkan buka menu download
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH...Selamat bergabung di Blog BEM STAIN Pontianak. Jadikanlah blog ini sebagai tempat menyambung tali silaturahim, Anda juga dapat mengirimkan artikel, berita seputar kampus, wawasan keagamaan, opini dan saran melalui email : bemstainptk2011@gmail.com....Mari kita wujudkan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak menjadi pusat Ilmu dan kebudayaan Islam sebagai pilar kebangkitan umat Islam di bumi Khatulistiwa

DOWNLOAD BUKU

TUJUH PULUH PERMAINAN YANG MENYENANGKAN

WELCOME TO STAIN PONTIANAK

merupakan satu-satunya perguruan Tinggi Islam Negeri di Kalimantan Barat, insyaAllah akan menjadi IAIN

GEDUNG PASCA SARJANA

jika ingin melanjutkan S2 mahasiswa STAIN dapat menyambung di sini

GEDUNG UPT

juga disebut gedung teater dapat menampung 200-an digunakan dalam kegiatan seminar,pelatihan,workshop, dan lain-lain

GEDUNG JURUSAN TARBIYAH

Jurusan Tarbiyah memiliki dua program studi (prodi) yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA)

GEDUNG JURUSAN SYARIAH

Jurusan Syariah memiliki dua program studi (prodi) yaitu Muamalah dan Ekonomi Syariah

GEDUNG JURUSAN DAKWAH

Jurusan Tarbiyah memiliki dua program studi (prodi) yaitu Bimbingan Konseling (BK) dan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 18 Juni 2011

Pendidikan Karakter Masuk Dalam Kurikulum ??

oleh : Andry Fitriyanto *)
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional membulatkan tekad untuk memasukkan Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Pendidikan Nasional Indonesia pada tahun 2012 mendatang. Munculnya ide tentang pendidikan karakter ini ditengarai karena kondisi moral generasi muda yang telah dinilai merosot tajam. Tentunya dengan banyak indikator yang bisa kita lihat bersama diberbagai pemberitaan media massa, seperti maraknya tauran dikalangan pelajar dan mahasiswa, beredarnya video porno dengan pelaku generasi muda, kurangnya rasa penghormatan para murid terhadap gurunya, perilaku pergaulan bebas dan merajalelanya narkoba.
Kesemuanya itu dinilai sebagai tanda rapuhnya pendidikan sebagai pembentuk karakter positif dalam sistem pendidikan di Indonesia. Untuk itu dirancanglah berbagai konsep tentang pendidikan karakter yang nantinya akan menjadi bagian dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Lalu pertanyaannya adalah apakah sistem pendidikan yang dilakukan selama ini dirasa kurang atau jika tidak mau dikatakan tidak mampu membentuk karakter positif dalam diri peserta didik ?
Belum banyak dari kita yang tahu bagaimana bentuk sejatinya pendidikan karakter ini diaplikasikan dalam kurikulum. Menurut M. Nuh (Mendiknas), implementasi pendidikan karakter dikelompokkan menjadi tiga, yaitu menumbuhkan kesadaran sebagai mahluk Tuhan YME yang harus saling mengasihi, membentuk karakter keilmuan, dan kecintaan terhadap tanah air. Pendidikan karakter akan berkutat pada beberapa hal, yaitu olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Dalam bahasa lain saya terjemahkan pendidikan karakter bukanlah hal yang bermuara pada aspek kognitif semata, tatapi bagaimana kesemua hal positif tersebut menginternalisasi dalam diri peserta didik sehingga menimbulkan penghayatan yang mendalam (afektif) dan menghasilkan tindakan atau aplikasi  dalam tingkah laku (behavior) kesehariannya.
Memang sebuah konsep pendidikan yang ideal menekankan pada ketiga aspek tersebut yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan seperti kebanyakan para pengamat pendidikan mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia lebih condong hanya kepada aspek kognitif semata. Sehingga menghasilkan luaran pendidikan yang jago menghapal tapi lemah dalam penghayatan dan tindakan. dan munculnya konsep pendidikan karakter menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia yang selama ini diterapkan memang benar hanya menitik beratkan pada hal kognitif saja.
Apabila kita mau jujur sesungguhnya hal-hal dalam kurikulum pendidikan bongkar pasang di Indonesia sejatinya bila dilaksanakan dengan menekankan tiga aspek tujuan pendidikan tersebut tentu akan membantu pembentukan karakter positif peserta didik. Karena sejatinya setiap sesuatu yang diajari dan dipelajari di sekolah bukan hanya untuk diketahui semata, tetapi bagaimana pendidikan yang didapat mampu mengubah pemikiran seseorang ke arah yang lebih baik dan dari berubahnya pemikiran tersebutlah timbul perilaku positif.
Sebut saja mata pelajaran moral, budi pekerti, akhlak, agama, dll, kesemua jenis mata pelajaran itu bila dimaksimalkan dalam pelaksanaannya tentu akan membentuk karakter positif dalam diri peserta didik. Namun mengapa sepertinya mata pelajaran itu tinggallah mata pelajaran saja? Mengapa pendidikan moral dan agama menjadikan manusia yang hapal dan paham tentang agama tetapi bukan menjadikan manusia yang bermoral dan beragama? Lagi-lagi yang menjadi masalah adalah kesemua pelajaran yang diberikan oleh sistem pendidikan kita lebih cenderung pada aspek kognitif berbasis angka untuk penilaian. Murid bisa saja pendapatkan nilai 90 karena mampu menjawab dengan benar sebagian soal ulangan umum pada pelajaran akhlak atau budi pekerti, sedangkan di sisi lain ia adalah seorang yang tidak disiplin, suka membuang sampah sembarangan, dan gemar membuat keributan. Sehingga sekolah banyak menghasilkan mereka yang hapal dan lancar berbahasa moral dan agama, tetapi minim dalam penerapannya.
Dalam upaya pembentukan karakter positif di sekolah tentu harus melibatkan semua elemen yang ada di dalamnya. Dalam hal ini guru mempunyai peran yang urgen dan sentral sebagai panutan dan suri tauladan bagi para peserta didik. Untuk membuat para peserta didik yang berkarakter positif, maka terlebih dahulu yang harus memiliki karakter positif tersebut adalah pendidiknya. Karena para pendidik adalah orang yang akan bersentuhan langsung dengan para peserta didik. Peserta didik tumbuh dengan mencontoh para gurunya. Lalu jangan salahkan para murid kalau ia bersikap tidak baik sedangkan gurunya memberikan contoh bersikap tidak baik pula. Untuk itu kualitas seorang guru harus benar-benar menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan dan ditindaklanjuti.
Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru merupakan hal positif untuk meningkatkan kualitas guru. Namun dalam penerapannya masih perlu pembenahan serius dikeranakan banyak asumsi yang berkembang bahwa sertifikasi yang pada dasarnya adalah instrument pembentukan kualitas diri, malah dijadikan tujuan akhir oleh banyak pihak. Sehingga tidak sedikit pendidik yang sudah tersertifikasi terlena dengan sertifikat yang sudah diperolahnya dan enggan untuk belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya sebagai pendidik. Atau hanya untuk mengejar tunjangan finansial saja sehingga mengurangi tujuan hakiki dari sertifikasi tersebut.
Untuk membentuk pendidik yang berkarakter harus dimulai dari pangkalnya sebagai pencetak para guru, yaitu instansi Perguruan Tinggi Keguruan. Pendidikan para calon guru harus mendapatkan porsi yang sangat serius, sehingga menghasilkan para pendidik yang berkualitas dan berkarakter. Mungkin harus ada standarisasi dalam pencarian dan penyaringan calon mahasiswa perguruan tinggi keguruan untuk memastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang siap tempa menjadi seorang guru yang berkualitas dan berkarakter.
Karakter disini bisa diartikan sebagai kepribadian seseorang. Pembentukan karakter seseorang 70% diproses dalam pendidikan informalnya (keluarga). Sedangkan pendidikan formal (sekolah) hanya mempunyai peran 30% dalam pembentukan karakter seseorang. Ini berarti pendidikan karakter juga harus melibatkan para orang tua peserta didik. Dan ini bukanlah hal yang mudah. Bagaimana mungkin pembentukan karakter positif akan berhasil dilakukan oleh pihak sekolah sedangkan dalam kesehariannya di lingkungan keluarga dan masyarakatnya para generasi muda bersosialisasi dan dididik secara tidak langsung oleh lingkungan yang berkarakter negative. Belum lagi pengaruh media massa dan internet yang fungsinya bagaikan sebilah pisau yang memerlukan kebijaksanaan dan kecerdasan bagi orang yang menggunakannya. Ia bisa saja digunakan untuk hal yang positif dan bisa pula digunakan untuk hal yang negative.
Pendidikan karakter akan kurang efektif bila diterjemahkan ke dalam mata pelajaran yang menggunakan metode ceramah dan diskusi dalam penyampaiannya, karena ia tidak terbentuk pada wilayah kognitif semata. Tapi pendidikan karakter diberikan dengan cara menampilkan suri tauladan dari seorang yang berkualitas dan berkarakter yang ditunjang oleh situasi budaya lingkungan yang mendukung pembentukan karakter pada diri generasi muda.  Untuk itu yang harus dilakukan bukan hanya memberikan pengertian dengan ceramah dan diskusi, tatapi yang utama dilakukan adalah menyediakan panutan dan suri tauladan serta budaya lingkungan yang berkarakter.
Mudah-mudahan pendidikan karakter yang akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita memiliki metode yang tepat dengan indikator pencapaian yang jelas. Tentu sangat tidak diharapkan bernasib sama dengan mata pelajaran moral, budi pekerti atau akhlak, dll yang condong kepada kognitif semata. Dan bukan sekedar proyek yang ingin dicapai demi sebuah ukiran jasa seorang pejabat negara dalam sejarah pendidikan di Indonesia.
Apapun itu, usaha untuk membentuk karakter bangsa harus terus dilakukan. Bukan hanya dari jalur kurikulum pendidikan. Para public figure dan pemimpin bangsa ini pun harus memberikan pendidikan karakter bagi rakyatnya berupa suri tauladan yang baik dalam tingkah lakunya. Ketika para pemimpin bangsanya saja banyak terlibat kasus KKN, video porno, perkelahian, tidak amanah, berlaku curang, dll. Lalu bagaimana akan membentuk karakter bangsa ini menjadi lebih positif ??
*) Presiden Mahasiswa STAIN Pontianak periode 2011/2012

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites