bagi mahasiswa yang ingin mendaftar secara online sebagai presma dan wapresma STAIN Pontianak periode 2012-2013 silahkan buka menu download
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 23 Maret 2011

Model Baru Perang Dunia Ketiga

Oleh : Andry Fitriyanto (Pembelajar di BEM STAIN Pontianak)
22 Maret 2011

Sejarah mencatat pernah terjadi perang besar antar negara-negara dalam berbagai blok di dunia. Perang ini melibatkan banyak negara yang berebut pengaruh, kepentingan, dan kekuasaan diberbagai teritorial belahan bumi. Perang dunia pertama dan kedua meninggalkan traumatisme mendalam bagi masyarakat dunia. Karena akibat yang ditimbulkan luar biasa merugikan banyak pihak secara berkepanjangan. berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun dilatar belakangi untuk mencegah perang besar itu terjadi kembali dan menjaga kedamaian dunia. PBB diberi mandat yang luar biasa oleh masyarakat dunia untuk melanggengkan situasi dan kondisi damai diseluruh negara di dunia.
Namun berdirinya PBB tidak secara otomatis membuat dunia menjadi damai dan bebas dari perang antar negara. Ini seakan memberi indikator kegagalan PBB dalam menjalankan tugas besarnya. PBB yang beranggotakan banyak negara itu malah menjadi alat politik dari beberapa negara Super Power seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Banyak perang yang dipaksakan terjadi dengan berbagai alasan yang menjadi kuatnya legitimasi pembenaran terhadap tindakan anarkis yang dilakukan. Sebut saja invasi Amerika Serikat dan sekutunya terhadap beberapa negara Timur Tengah, seperti Afganistan, Irak, dan yang terjadi sekarang terhadap Libya. Perang ini dilakukan oleh negara Barat yang masih merasa dirinya sebagai polisi dunia yang punya kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang dirasa atau dalam bahasa lain dikondisikan seperti mengancam keamanan bersama dan harus ditumpas dengan cara militer. Walaupun tidak melibatkan banyak negara dalam dua pihak seimbang yang saling berlawanan, namun perang ini seperti bergulir tiada akhir sampai langgengnya sebuah pengaruh dan kekuasaan negara Barat terhadap negara lain. Bisa jadi ini adalah model baru perang besar dunia yang ketiga. Setelah Libya, Negara lain pun memiliki peluang yang sama untuk diperangi oleh Amerika Serikat dan sekutunya jika negara tersebut dirasa berseberangan pandangan dengan mereka atau negara tersebut sangat strategis sumber daya alamnya. Dengan berbagai pembenaran yang dibuat memungkinkan untuk bernasib sama dengan Afganistan, Irak dan Libya.

Invasi itu dimotori oleh Amerika Serikat dan sekutunya dengan berbagai alasan yang menjadi legitimasi pembenar tindakannya. Sebut saja invasi militer terhadap Afganistan yang dilegitimasi oleh alasan agenda besar pemberantasan terorisme. Pemerintah Taliban yang berdaulat di Afganistan pun yang dituduh melindungi dalang terorisme Osama bin Laden menjadi sasaran pembantaian oleh tentara Amerika Serikat dan sekutunya, yang sampai sekarang teroris nomor wahid itu belum bisa ditemukan, walaupun Afganistan telah lumpuh oleh perang yang terjadi. Invasi militer di Irak diluncurkan dengan legitimasi pembenar mencari senjata pemusnah massal, atas nama demokrasi dan HAM, yang sampai sekarang belum ditemukan bukti kuat terhadap tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal tersebut, sedangkan Irak telah luluh lantah sebagi akibat dari perang yang terjadi. Dan yang sekarang sedang terjadi adalah invasi militer negara sekutu terhadap pemerintah berdaulat di Libya. Dengan legitimasi yang lebih kuat yang di dasarkan oleh rosolusi PBB tentang No Fly Zone di Libya. Karena presiden Libya dinilai telah membantai banyak rakyatnya sendiri yang merupakan pelanggaran HAM dan menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kesepakatan internasional kekerasan mendapat legitimasi dalam dua keadaan yaitu ketika mempertahankan diri dari serangan musuh dan ketika mendapat mandat dari PBB.
Pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Obama ternyata sama saja arogannya dengan Bush pimpinan AS sebelumnya. Di masa kepemimpinannya, presiden Bush melancarkan dua kali invasi ke negara Timur Tengah, yaitu Afganistan dan Irak. Invasi Militer ke Libya adalah invasi militer pertama di masa pemerintahan presiden Obama. Walau dalam penampilan dan retorika kepemimpinan yang lebih halus, namun hakikat keputusan perang tetaplah suatu keputusan yang anarkis dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang di junjung tinggi. Lalu apa bedanya antara Obama dan Bush, jikalau keduanya sama-sama merasa benar dan legal terhadap invasi yang Amerika Serikat dan sekutunya lakukan. Mungkin banyak pihak yang kecewa dengan keputusan perang yang diambil Obama. Ini merupakan poin buruk bagi Obama yang sering menyatakan komitmennya untuk merangkul umat Islam dunia. Kebencian terhadap Obama dan Amerika Serikat akan tumbuh subur dari para korban perang di Libya dan negara lain yang tak setuju dengan perang yang terjadi.
Walau bagaimana pun alasannya, perang merupakan suatu hal yang tidak bisa dibenarkan. Perang hanya akan menambah dan memperbesar masalah yang ada. Seperti pepatah mengatakan “menghadapi api dengan api”, maka api akan bertambah besar dan ganas. Kerugian dalam banyak aspek akan menjadi tanggungan negara-negara yang terlibat peperangan. “Menang jadi arang kalah jadi abu”, begitulah pepatah orang bijak yang dipakai untuk menjaga ketentraman hidup ini. Tidak ada yang bisa memastikan berapa jiwa, biaya, waktu, dan tenaga yang dibayar untuk sebuah kehancuran bersama dalam perang yang terjadi.
Belajar dari invasi militer ke Afganistan dan Irak yang sampai sekarang masih menyisakan gejolak militer, sosial, ekonomi dan politik di negara tersebut yang masih berlangsung sampai sekarang dan akan terus berkepanjangan. Tak ada yang bisa menjamin kapan gejolak itu akan berakhir. Korban rakyat sipil tentu tidak bisa di elakkan. Perang Afganistan dan Irak juga terbukti menjadi ladang penyemaian radikalisme militan, geriliawan, dan perang saudara. Belum lagi masalah ledakan pengungsi yang terjadi akibat perang yang terjadi, lalu berapa ongkos kemanusiaan yang dibutuhkan untuk membiayai masalah tersebut. Negara tetangga pun akan terkena dampak buruknya secara ekonomi, sosial, politik. Kira-kira seperti inilah beban akibat yang akan ditanggung rakyat Libya pasca invasi militer Amerika Serikat dan sekutunya. Pontianak Post, 22 Maret 2011 mencatat akibat invasi negara Sekutu ke Libya beberapa hari belakangan ini menelan korban 64 warga sipil tewas dan 150 lainnya luka-luka.
Negara Amerika Serikat dan Sekutunya bukanlah Negara bodoh yang tak bisa belajar dan melihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perang Afganistan dan Irak yang telah terjadi. Lalu mengapa mereka masih mengambil keputusan untuk menginvasi Libya, sebuah negara berdaulat yang tengah bergejolak oleh ulah pemimpin pemerintahnya. Mungkinkah ada agenda terselubung dari invasi ini. Mungkin telah menjadi rahasia umum bahwa negara Barat terutama Amerika Serikat memiliki kepentingan terhadap sumber minyak di negara Timur Tengah. Amerika sepertinya ingin mempertahankan dan menjaga eksistensi hegemoninyai wilayah negara yang merupakan ladang minyak dunia. Dilancarkanlah berbagai maneuver politik yang salah satunya melalui invasi militer terhadap negara-negara yang berdaulat di Timur Tengah. Beberapa Icon kharismatik (Pimpinan Taliban, Saddam Hussein, Muammar Khadafi, dll) yang tak bisa dikontrol pun seakan ingin dihabisi untuk memuluskan agenda politik terselubung dari Amerika Serikat dan Sekutunya. Produksi senjata yang melimpah milik negara Barat seakan menemukan pasar baru yang subur dan gembur apabila terjadi konflik peperangan disuatu negara. Ambisi perang itupun mendapat momentum legitimasi dari gejolak intern di Libya dan resolusi PBB tentang No Fly Zone di Libya. Semua itu menjadi pembenar terhadap perang yang diluncurkan Negara barat.
Jika atas nama demokrasi, keamanan dunia, kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Muammar Khadafi yang membantai rakyatnya, Negara Amerika Serikat dan sekutunya melancarkan perang besar terhadap Negara di Timur Tengah. Mengapa hal yang sama tidak dilakukan mereka terhadap Israel yang sudah cukup lama secara terus menerus membantai rakyat Palestina tak berdosa. Masyarakat muslim minoritas di banyak negara yang tertindas dan terdiskrimani oleh otoritas pemerintah yang merupakan kelompok mayoritas, sebut saja di Filipina, Thailand, dll. Lalu berapa banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan bersenjata negara Barat terhadap rakyat sipil tak berdosa di Afganistan, Irak dan Libya. Semua alasan logis itu seakan tak berguna bagi negara sekutu yang memiliki agenda politik yang terselubung dari aksi invasi militer yang dilaksanakan.
Penyelesaian masalah konflik di Libya memang dilematis. Masyarakat dunia seakan dihadapi dengan dua pilihan yang sama-sama merugikan. Yang pertama, membiarkan Libya menyelesaikan masalahnya sendiri dengan konsekuensi Khadafi akan bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya, dan kakerasan yang akan terjadi, dengan kemungkinan akan bisa diatasi dengan cara ala Khadafi. Yang kedua, dengan cara intervensi militer oleh negara luar, walaupun tujuannya baik tapi melihat dari invasi militer di Afganistan dan Irak akan berakibat menimbulkan gejolak dan kerusakan yang berkepanjangan yang menimbulkan lebih banyak korban, biaya dan tenaga untuk menyelesaikannya. Belum lagi hal itu menjadi momentum baik bagi agenda politik terselubung negara Barat yang melancarkan invasi, momentum itu tentu dimanfaatkan secara baik dan berlebihan oleh negara Barat.
Tentu kedua pilihan itu bukanlah yang kita inginkan bagi penyelesaian konflik di Libya. Belajar dari strategi pemberantasan terorisme oleh Amerika Serikat yang gagal dengan cara perang, lalu mengambil cara lain yaitu mendukung dan membantu reformasi dan deradikalisasi umat beragama sebagai ladang penyemaian teroris. Maka cara itu dilakukan secara jangka panjang yang lebih efektif dan berdampak pada pemberantasan tarorisme. Dalam artian membantu dan mendukung umat beragama untuk mereformasi dan membersihkan dirinya secara internal dari penyakit radikalisme. Mungkin cara memberikan dan dukungan bagi masyarakat Libya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri secara internal adalah cara yang lebih santun dan mungkin lebih efektif untuk menyelesaikan krisis Libya sacara jangka panjang. Walau bersifat jangka panjang tapi mungkin lebih bisa menekan korban dan kerusakan yang terjadi bila dibandingkan dengan memilih jalur peperangan yang justeru akan menimbulkan masalah baru berkepanjangan.
Banyak para pengamat memaparkan bahwa yang perlu dilakukan oleh masyarakat internasional adalah bersuara keras terhadap Negara Sekutu untuk lebih professional dan proporsional dalam melaksanakan resolusi PBB tentang No Fly Zone di Libya. Hal yang ditakutkan banyak pihak adalah landasan ini dipakai oleh negara sekutu secara berlebihan dan melancarkan agenda politik terselubung. PBB pun harus berani menginvestigasi pelanggaran HAM yang tidak hanya dilakukan oleh Khadafi, tapi serangan pasukan sekutu yang sangat berpotensi menimbulkan korban masyarakat sipil tak berdosa.
Inilah model baru Perang Dunia ketiga antara negara Super Power dan sekutunya yang merasa dirinya berwenang terhadap keamanan dunia kepada negara kecil yang dikondisikan menjadi ancaman bersama dan harus dimusnahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites